“…Kota JAKARTA dan PERJALANAN Panjangnya…”


"..TREM.." Angkutan Umum Kota Jakarta Tempoe Doeloe di Kawasan Glodok

Jakarta kota Metropolitan yang menjadi Ibu Kota Negeri Indonesia ini ternyata memiliki jejak perjalanan yang panjang. Jakarta bukanlah kota tertua di Indonesia. Kota Jakarta berkembang dengan dengan dahsyatnya hingga melampauidaya tampung kota itu sendiri. Saat ini jumlah penduduk kota Jakarta lebih dari 10 juta jiwa. Bahkan di siang hari bisa mencapai 12 juta jiwa. Menempati wilayah seluas hanya 650 km persegi.Bisa dibayangkan betapa sesak dan hiruk pikuknya Jakarta. Aktivitas manusia di Jakarta sebenarnya telah berlangsung ribuan tahun bahkan belasan ribu tahun silam. Bukti akan kehadiran manusia di Jakarta yang hidup ribuan tahun silam tersebut banyak ditemukan oleh para arkeolog. Salah satu nya adalah Tembikar. Benda yang terbuat dari tanah liat ini banyak ditemukan di sejumlah situs prasejarah di Jakarta. Pada masa perundagian di temukan di Pejaten dan situs prasejarah lainnya di aliran sungai Ciliwung. Seperti periuk, tempayan, cawan, cawan berkaki, piring, pasu dan kendi.Pemukiman mereka saat itu terkonsentrasi di sekitar Sungai Ciliwung. Sehingga banyak benda-benda peninggalan ditemukan di sana.Setelah ribuan tahun berlangsung dengan suasana penuh keheningan dan kegelapan (zaman prasejarah memang berjalan lambat sehingga selama puluhan ribu tahun kebudayaan manusia seolah berjalan di tempat). Keriuhan di Jakarta di mulai abad 12.

"...Pelabuhan Sunda Kelapa...." Tempo Doeloe

Di mana keriuhan itu berlangsung ketika Kerajaan Sunda yaitu Kerajaan Pakuan Padjajaran menjadikan kawasan yang kemudian di beri nama Sunda Kelapa sebagai Pelabuhan. Bila mengacu pada Prasasti Batu Tulis (1133 M) maka Kerajaan Pakuan Padjajaran (dan Pelabuhan Sunda Kelapa) sudah ada sejak paling tidak abad 12 M. Tom Pires, orang Portugis yang mengunjungi Sunda Kelapa pada tahun 1512 – 1515 menyebut Sunda Kelapa dengan Qumda Calapa. Dan menuliskan dalam catatan perjalanannya bahwa Qumda Calapa merupakan pelabuhan yang ramai dan merupakan salah satu dari enam pelabuhan besar milik Kerajaan Sunda Pakuan Padjajaran (Qumda). Lima pelabuhan lainnya adalah Bantam (Banten), Pomdam (Pontang), Cheguide (Cigede), Tamgaram (Tangerang) dan Chimano (Cimanuk). Tom Pires melaporkan bahwa ibu kota Kerajaan Pakuan Padjajaran yang disebut Dayo (Dayeuh) dapat ditempuh dalam dua hari perjalanan dari bandar Calapa. Lokasi tersebut kini di yakini berada di wilayah Bogor. Catatan perjalanan Tom Pires itu sekaligus menjadi bukti bahwa hingga awal abad 16 M, wilayah yang kini Jakarta masih merupakan bagian dari Kerajaan Pakuan Padjajaran. Pada tahun 1527 Kerajaan Pakuan Padjajaran membuat suatu perjanjian kerjasama dengan Portugis untuk menghadapi invasi pasukan muslim dari Kerajaan Islam Demak dan Cirebon.Hal tersebut ditandai dengan sebuah prasasti yaitu Prasasti Padrao. Namun saat pasukan Portugis meninggalkan Sunda Kelapa menuju Malaka untuk membawa pasukan Portugis yang lebih besar, pasukan muslim yang dipimpin Falatehan yang mendengar kepergian pasukan Portugis menyerang Kerajaan Pakuan Padjajaran dan merebut Pelabuhan Sunda Kelapa. Hal tersebut terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Momentum perebutan Sunda Kelapa itu dikemudian hari dijadikan pijakan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.

"...Jalan Juanda Jakarta 1875..."

Pada masa penguasa muslim lah, Jakarta benar-benar dibentuk menjadi kota, terutama saat Pangeran Jayakarta Wijayakrama memerintah kawasan ini pada tahun 1596. Gambaran Jakarta sebagai kota pada akhir abad 16 M dan awal abad 17 M diperoleh dari peta rekonstruksi yang dibuat orang Belanda bernama Ijzerman. Pola tata kota yang dibangun Pangeran Jayakarta identik dengan tata kota pusat kerajaan Islam di Jawa baik yang berlokasi di pedalaman maupun di pantai. Berita pertama dari orang Belanda yang datang dengan kapal Holandia pada 13 November 1596 di Pelabuhan Sunda Kelapa menyebutkan bahwa kota dikelilingi pagar kayu atau bambu sebagai pertahanan. Pada awal abad 17 M pagar diganti dengan tembok yang menurut Ijzerman dibangun untuk mengantisipasi orangorang Inggris. Jumlah tentara Pangeran Jayakarta sekitar 6000 hingga 7000 orang. Pertambahan penduduk di Jakarta yang demikian pesat itu tak lepas dari kebijakan Pangeran Jayakarta dalam hal perdagangan. Pada masa pemerintahannya, ia membuka seluas-luasnya pintu perdagangan.Tidak hanya pedagang Dari Nusantara, tetapi juga dari manca negara seperti Cina, Bombay, Belanda, Inggris, Gujarat (India), Persia, Arab dan bangsa-bangsa dari kawasan Asia Tenggara lainnya. Sedangkan dari dalam negeri pedagang dari Aceh, Tidore, Ternate, Hitu, Maluku, Tuban, Demak, Cirebon, Banten, dan sebagainya. Namun kebijakan itu ternyata mendatangkan petaka. Gubernur Jendral VOC yang pertama datang di Jayakarta, Pieter Both (1610-1614), membuat perjanjian dengan Pangeran Jayakarta tahun 1611. Salah satu isi penting perjanjian itu adalah penjualan sebidang tanah seluas 50 x 50 vadem (1 vadem = 182 cm) di sebelah timur Muara Ciliwung (di tepi Timur Kali Besar, kurang lebih 150 m di sebelah selatan jembatan dekat Menara Syahbandar sekarang). Tanah ini menjadi pijakan pertama VOC di pulau Jawa dan menjadi cikal bakal kota Batavia. Di atas tanah ini VOC mendirikan bangunan batu bertingkat dua sebagai tempat tinggal, kantor, sekaligus gudang. Bangunan ini disebut Nassau. Selesai dibangun tahun 1613.

"...Istana Negara Tempo Doeloe..."

Lalu pada masa Gubernur Jendral VOC yang ketiga, Laurens Reael (1615-1619) dibangun gedung Mauritius, juga di tepi sungai Ciliwung. Pada tahun 1618 Banten merebut Jayakarta dan mengusir VOC dengan bantuan Inggris (dipimpin Laksamana Thomas Dale). Belanda menyingkir ke Maluku. Tapi kemudian Banten mengusir Inggris yang berniat menduduki bekas pos VOC. Thomas Dale melarikan diri dengan kapalnya pada 16 February 1619, dan Banten menduduki Batavia. Pada 28 Mei 1619 Belanda kembali ke Jayakarta dan memasuki Teluk Jayakarta dengan 18 kapal. Mereka menyerang Jayakarta dari arah utara dan merebutnya dengan mudah.Gubernur Jendral VOC Jan Pieterzoon Coen (JP Coen) membakar kota Jayakarta. Tembok kota diruntuhkan dan kubu-kubu di sekitarnya dirusak. JP Coen kemudian memberi nama kota Jayakarta dengan Batavia yang berasal dari nama suku nenek moyang bangsa Belanda yaitu Batavier. JP Coen kemudian membangun pemukiman baru di atas reruntuhan kota yang ditinggalkan penghuninya. JP Coen membangun Batavia meniru kota-kota di Belanda khususnya Amsterdam. Situs kota dipilihnya d tepi timur Ciliwung, melebar ke selatan dari dari Gudang tua. Lokasi dipilih dengan pertimbangan agar dekat dengan Benteng untuk melindunginya dan dekat air laut bagi kepentingan perdagangan. JP Coen membangun Kastil Batavia untuk menggantkan benteng lama, Fort Jacatra. Kastil Batavia inilah yang menjadi embrio kota Batavia pada masa berikutnya. Pada ke empat sudutnya di beri nama Diamant, Robijn, Saphier, dan Parel. Itulah sebabnya kita mengenal penamaan ‘Kota Intan’ bagi kota Batavia lama. Untuk mewujudkan ambisinya yaitu menjadikan Sunda Kelapa setara dengan Macao, maka didatangkanlah Budak-Budak secara besar-besaran dari Ambon, Bali, Kepulauan Timur dan Jawa. Bahkan juga dari India. Pada tahun 1620, Coen mendirikan balai kota (Stadhuis) sebagai Pusat Pemerintahan sekaligus menunjukan akan keseriusannya menjadikan Sunda Kelapa sebagai pusat bisnis VOC di Hindia Timur.Sepeninggal Coen, pembangunan dilanjutkan oleh penggantinya, Jacques Specx (1629-1632). Kota diperluas ke tepi barat Ciliwung. Pada tahun 1631 aliran Ciliwung yang berkelok-kelok, diluruskan, membentuk sebuah kanal besar yang lurus membujur dari Selatan ke Utara. Terusan ini yang dalam peta-peta Batavia disebut De Groot Rivier atau Kali Besar. Sepanjang abad 17 , guna aneka kepentingan perdagangan dan lalu lintas perahu, sejumlah kanal digali. Kanal-kanal yang dibangun di abad 17 dan hingga kini masih ada itu antara lain Kanal Mooker (Mookervart), selokan Molen (Molenvliet/kanal yang kini berada di antara Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk).Pada tahun 1741, Gubernur Jendral Baron Van Imhoff membangun Benteng air (Water Castil) di ujung Dermaga. Di ujung barat Dermaga terlihat jajaran Meriam pantai (Batere Het Loo) yang berjajar dari utara ke selatan. Di sebelah selatan meriam pantai terdapat keju jawa (Javaasch Kaasjjes) dan di sebelah baratnya terdapat perkampungan orang-orang Jawa yang kini di kenal dengan Kampung Luar Batang. Beberapa bangunan dalam kota sekarang dapat diidentifikasi. Bangunan Stadhuis (Balai Kota) sekarang menjadi Gedung Museum Sejarah Jakarta, Gereja Nieuw Hollandsche Kerk (1736) sekarang menjadi Museum Wayang (1912), gudang tepi barat (Westzijdsche Pakhuizen) sekarang menjadi Museum Bahari. Demikian juga dengan Chinese Kwartier di luar kota, sekarang adalah Pasar Glodok. Masa pemerintahan VOC berlangsung pada tahun 1600 (masa JP Coen) sampai tahun 1800an. Dan kekuasaan VOC berakhir pada tahun 1800an. Dimana VOC yang merupakan Perusahaan dagang mengalami kebangkrutan dan runtuh. Keruntuhan VOC disebabkan oleh Korupsi dan Biaya Perang yang sangat besar saat terjadi peperangan dengan Sultan Agung dari Mataram, Inggris dan Portugis (sesama Usaha Dagang). Kekuasaan kemudian berganti dengan pemerintahan Hindia Belanda sesudahnya.Kondisi Batavia di penghujung abad 18 sudah tidak sehat lagi. Kian padatnya penduduk di tambah sanitasi yang kurang baik menyebabkan Batavia menjadi kota dengan tingkat kematian yang tinggi. Terjadi wabah Kolera dan Malaria. Maka kemudian kota dipindahkan ke daerah yang jauh dari rawa. Wilayah baru itu diberi nama Weltevreden. Di awal abad 19, Herman Willem Daendels yang menjadi Gubernur Jendral pertama sejak pindahnya kota ke Weltevreden, mulai membangun kota Batavia yang baru. Ibu kota baru ini berada di sekitar Lapangan Banteng sekarang. Di sini pula Daendels mendirikan istananya (kini Departemen Keuangan). Untuk kota lama (Oud Batavia) tetap dipakai sebagai pusat kantor perusahaan dan perdagangan mengingat posisi Sunda Kelapa sebagai pusat perdagangan International. Awal abad 19 ketika Batavia berada di tangan kekuasaan Perancis (seiring kekalahan Belanda oleh Perancis pada 1795) evolusi kota Jakarta berlangsung secara menakjubkan. HW Daendels (1808-1811) membangun kawasan di sebelah selatan yang kemudian di beri nama Weltevreden (sekitar kawasan Senen – Gambir). Pada masa Daendels dibangun pula perkumpulan seni yang kemudian diberi nama De Harmonie.Perang yang berkecamuk di dunia mengharuskan Daendels memerintah tidak lama di Batavia. Kekalahan Napoleon di Waterloo membuat kekuasaan di Batavia berpindah tangan ke tangan Inggris. Kemudian Inggris mengangkat Sir Thomas Stamford Rafles sebagai Letnan Gubernur Inggris di Hindia Timur. Rafless segera mengadakan pembenahan administrasi pemerintahan, perbaikan pamong praja, dan mengenalkan sistem pajak tanah. Dia juga memberikan inspirasi bagi masyarakat seni dan ilmu pengetahuan di Batavia dengan memjukan Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan. (Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wattenschappen) yang dibangun pada 1778-1780. Selain itu Rafles juga membangun Museum dan Perpustakaan serta Schouwburg (Gedung Kesenian).Dalam suatu traktat di London, terhitung 13 Agustus 1814 Batavia kembali ke tangan Belanda. Pada masa inilah pembangunan besar-besaran dilakukan di Batavia. Sejumlah gedung baru dibangun seperti Gereja Emmanuel, Balai Pertemuan Perwira, dan lainnya. Pada pertengahan abad 19 postur tubuh Kota Jakarta terus membesar. Batavia menjadi suatu Keresidenan yang dipimpin oleh Residen. Keresidenan ini dibagi lagi menjadi afdeling-afdeling yang dipimpin oleh Assisten Residen seperti Afdeling kota Batavia, Afdeling Meester Cornelis (Jatinegara), Afdeling Tangerang, Afdeling Buitenzorg (Bogor) dan Afdeling Karawang.Pada 1869, sarana angkutan umum pertama yang dapat mengangkut banyak orang mulai diperkenalkan, yaitu berupa Trem Kuda. Trem ini berupa sebuah kereta, bentuknya memanjang, berjalan di atas rel dan ditarik 3 sampai 4 ekor kuda. Dan untuk klaksonnya si kusir meniup terompet. Pada saat bersamaan sistem transportasi kereta juga tengah dikembangkan di Batavia. Pembangunan jalur kereta antara Batavia dan Buitenzorg (Bogor) sudah dimulai Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij pada 1872 dan selesai pada1873. Lintasan kereta dari Tanjung Priok baru diresmikan pada tanggal 6 April 1875.Pelabuhan Tanjung Priok dibangun saat kapal-kapal besar uap tak bisa berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa di Pasar Ikan karena kedalaman laut yang tak memadai. Sehingga muatan dalam kapal-kapal besar harus dipindahkan ke kapal-kapal yang lebih kecil untuk dapat masuk Sunda Kelapa.Sebagai sebuah kota situasi Jakarta semakin riuh di penghujung abad 19. Pemekaran terjadi di mana-mana. Jumlah penduduk sudah mencapai 1 juta jiwa. Dan derap pembangunan kian tak terbendung setelah Indonesia Merdeka pada tahun 1945 dan menjadikan Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia.Gedung-gedung pencakar langit berdiri dan menatap dengan angkuhnya. Gambaran hijau sebagaimana terungkap pada peta Batavia tahun 1853 dan 1867 sudah tidak ada lagi. Tak heran bila banjir menjadi sahabat yang terus datang setiap musim hujan tiba. Kemacetan lalu lintas pun menjadi menu sehari-hari masyarakat.Dan perjalanan panjang Kota Jakarta masih akan terus berlanjut entah sampai kapan dengan terus membawa sejarah tersendiri pada setiap jamannya.

Oleh : Santi Widianti

Tinggalkan komentar